Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 18 Agustus 2008

Akibat Bohong Sama Si Kecil

Seorang pemuda bule yang sedang mabuk, berjemur di pantai tanpa
busana sama sekali. Ketika dia melihat seorang anak gadis kecil seusia 7
tahun berjalan melewatinya, dia menutup bagian tubuh tertentu dengan
koran yang sedang dia baca.

Karena heran, anak gadis kecil itu berkata, Apa sih yang Oom
tutupi dengan koran itu? tanya gadis kecil itu polos sambil menunjuk
koran.

Karena malu, pemuda itu menjawab, Ah tidak ada apa-apa. Itu hanya
seekor burung pipit.

Seekor burung pipit? tanya gadis itu penasaran.

Betul, hanya seekor burung pipit jawab pemuda itu lebih tegas.

Setelah gadis kecil itu pergi berlalu, si pemuda kembali membaca
koran sambil menenggak minuman kerasnya. Dan tak lama kemudian, si
pemuda tertidur.

Ketika terbangun, Pemuda tersebut berada di rumah sakit dan merasa
nyeri yang amat sangat.

Seorang polisi menanyainya, Apa yang terjadi?

Saya tidak tahu. Saya sedang berjemur di pantai, lalu ada gadis
kecil menanyai saya sebentar dan tidak lama setelah dia pergi, saya
tertidur dan kini tiba-tiba berada di sini.

Polisi itu pergi ke pantai mencari gadis kecil dan bertanya, Apa
yang kamu lakukan terhadap lelaki yang sedang berjemur?

Gadis kecil itu menjawab, Saya tidak melakukan apa-apa terhadap
Oom itu.

"....Cuma waktu dia tidur, saya main dengan burung pipit miliknya.
Tapi tidak lama kemudian, burung itu meludahi muka saya. Karena itu saya
patahkan leher dan paruhnya, saya pecahkan telur-telurnya dan saya bakar
sarangnya....." !!!! (jawab sang anak kecil dengan PoLos nya
) :)

Jumat, 11 Juli 2008

Izinkan Aku Mencintaimu atau Sekedar Sayang Padamu

Ah...sudahlah...sudah lama aku bertanya-tanya dalam hati kenapa kau tidak mau menyapa, tersenyum dan bilang halo padaku. Apa susahnya sih melakukan itu..itu tidak bakal menguras energimu, itu hanya memakan waktu sepesekian detik dari seabreg kesibukanmu. Dengan melakukan itu, kau telah membuat seseorang bahagia, senang dan merasa separuh bebannya hilang, dan tetunya bagimu dalam agamamu itu adalah berbuat pahala dengan iming-iming surga.

Satu kali kita bertemu, kau malah membuang muka, kau mengacuhkan diriku di depan temen-temanku yang juga teman-temanmu. Kau membuat diriku tidak ada lagi, aku merasa tidak eksis waktu itu, keberadaanku yang begitu jelas di depan bola matamu menjadi sirna. Aku merasa kecil, merasa tidak berarti, dan merasa sirna,bahkan tuhan sekalipun sampai detik ini belum mampu berbuat demikian. Aku masih hidup,orang masih mengenalku, mengucapkan selamat ketika aku meraih piala citra untuk kategori penulis skenario terbaik. Bahkan bapakku yang berada di liang kuburpun pasti akan merasa bangga padaku.

Aku tidak ingat persis kapan kau menjadi begini, seingatku lima tahun kita mejallin kasih, setelah lima belas tahun berteman. Waktu itu kau merasa butuh seorang pria disampingmu, waktu itu kau begitu ketagihan akan belaianku, kau begitu bergantung padaku dan aku juga demikian. Seingatku juga kau sering menginap dikamar kosku sewaktu kuliah, kita habiskan setiap malam bersama, dengan sembunyi-sembunyi kita majt pagar kos agar tidak ketahuan sama yang lain karena kau malu. Dengan begitu kau menari di atas perutku sebuah posisi yang paling enak katamu. Kau menari dengan gemulai, dengan lembut, seperti diiringi sebuah musikalisasi kelas wahid.

Sewaktu kecil kita bagai saudara, aku tahu siapa dirimu, bagaimana kau tumbuh, keluargamu yang bahagia lengkap dengan seorang ayah dan seorang ibu. Memang kau anak tunggal, tak salah kalau kedua orang tuamu begitu sayang padamu. Begitu dekatnya kita sampai celana dalammu yang kau pakai setiap hari aku tahu, aku juga tahu kapan kau mulai didatangi bulan kali pertama, bagaiman kau meringis kesakitan, memegang perutmu, terisak-isak dibarengi keluarnya air mata. Aku yang membelikan pembalut pertamamu di warung Buya Husein. Ibumu tahu setelah dua hari kemudian.

Ketika SMP kita berangkat sekolah bersama-sama, setiap pagi aku menunggumu di gang kecil depan rumahku. Kita selalu bergandeng tangan, baik hujan maupun panas kita berangkat dan pulang bersam-sama sampai akhirnya ketika beranjak SMU. Kau tidak mau lagi bergandeng tangan. Hal ini kau lakukakan setelah para pemuda di lingkunganmu menertawakanmu, kau malu, paras putih wajahmu yang tirus merona kemerahan seperti ada tomat matang disana. Namun kita tetap berangkat bersama-sama dan begitu juga pulangnya. Kau yang menginginkan demikian, kau merasa aman katamu dari gangguan para pelajar dari SMU lainnya.

Aku sih senang-senang aja, aku yang berparas tak lebih bagus dari kebanyakan para siswa, kulitku yang agak gelap ditengah-tengah paradigma kulit putih yang keren. Aku bangga jalan setiap pagi bersamamu, kapan pun kau mau aku selalu siap menemanimu, kemana aja, bahkan ke lengan para malaikat penjemput nyawa sekalipun.

Aku sedih sekali sewaktu jarak memisahkan kita, kau pindah pas sewaktu kita naik kelas tiga, “ayahku dipindahkan jo....karena dugaan korupsi” katamu dengan lembut menjelang perpisahan kita. “aku sedih jo....aku sebenarnya belum siap untuk meninggalkan kota ini bersama kenangannnya, aku ingin hidup di kota ini...tenang, damai dan aku punya banyak teman di sini...kau tahu kan aku agak susah bergaul dengan lingkungan baru..” lanjutmu. Aku tak tahu harus mengeluarkan kata-kata apa. semoga dengan diam ini sudah cukup membuktikan kesedihanku atas kepergianmu. Ah..sudalah..lagian aku tak mempunyai hak apa-apa untuk menahanmu. Aku juga tidak mempunyai alasan apapun untuk menghambat kepergianmu.

Seminggu sebelum kau pergi aku sempat memikirkan satu jalan untuk membuat kamu tetap berada dikota ini. Disampingku. Jalan ini agak ekstrim memang, namun setelah memutar-mutar pikiran di otak ini hanya ini kiranya merupakan jalan satu-satunya. Kita harus melakukannya. Ya...aku sudah bertekad. Ini mesti dilakukan. Tak ada jalan lain. Besoknya seteah puang sekaah aku menunggumu di sudut gerbang sekoah. Tak ama berseang kamu datang bersama temanmu. “kita jalan dulu...sebelum pulang ke rumah” kataku. Kau diam hanya tersenyum kecil. Aku mengajak kamu ke tempat rahasia kita. Tempat yang tidak seorang pun tahu.

Disana aku memasukimu, aku melepaskan semua dahaga yang telah menyerangku semenjak kau akhil baik. Aku melepasakan semua beban yang ada. Aku memberimu sesuatu yang tak akan pernah kau lupakan. Jadi kau tenang saja. Ini memang sakit awalnya, tapi setelah itu kau akan menikmatinya. Hanya ini jalan untuk membuat kau selalu disampingku. Ini kulakukan agar membuat diriku dianggap sama kedua orang tuamu. Supaya kedua orang tuamu tahu bahwa diri ini tidak bisa dipasahkan dari dirimu. Agar kau tahu aku tidak main-main.

Kau tersenyum, tak ada tetesan air mata, taka ringis kesakitan, kau begitu tenang menerima semua ini. Hanya lenguhan kecil yang keuar dari bibir tipismu. Selebihnya tenang. Nafasku memburu yang menerpa wajahmu, kau tenang saja, hentakan demi hentakan tak membuat dirimu mengeluh. Kau hanya tersenyum kecil tanpa aku tahu artinya, pas sesaat setelah aku kecangkan ikat pinggangku.

Dua hari menjelang kau pergi, aku berpikir, kok tidak terjadi apa-apa, kenapa bapakmu tidak datang ke rumahku sambil marah-marah, kenapa tidak ada isak tangis ibumu di sudut kamar tidurnya. Apa yang sebenarnya terjadi?. Apa kau tidak bercerita tentang apa yang kita lakukan?. Atau ini memang aku simpan sebagai pembunuh sepi di kamarmu?. Aku semakin tidak mengerti tentang dirimu.

Tiga tahun setelah itu kita bertemu lagi di kota Y, kau yang menyapa aku duluan, aku kaget, bagaimana tidak, kau tiba-tiba hadir di depan mataku, tepat di ujung hidungku, setelah sekian tahun aku hanya bisa bermimpi untuk bertemu. Hari ini hari yang menyedihkan sekaligus membahagiakan, setelah seharian letih akibat berdemontrasi menolak hutang baru untuk Indonesia melalui forum CGI, adu jotos dengan aparat, tapi aku bahagia, karena setelah perjuangan yang berdarah-darah itu aku bertemu kamu. Sewaktu kau tersenyum, nyeri akibat pukulan pentungan aparat tadi hilang, penat di badanku lenyapenatah kemana. Terima kasih tuhan..........Semenjak itu tidak ada lagi hari-hari yang muram, suram, semua har terasa cerah, hujan badai pun tak akan mampu singgah barang semenit. Dirimu yang membuat hal itu terjadi.

Tak lama kemudia, kita mengingkat janji dalam sebuah hubungan yang dikenal sebagai pacaran, kalau dalam agamamu namanya ta’aruf. Kita menjalaninya dnegan bahagia, tidak ada pertengkaran, tidak ada cekcok, tidak ada krikil yang menghambat perjalanan kita. Dimana ada aku pasti ada kamu, dimana ada kamu pasti ada aku. Bosan?. Itu hanya sugesti saja katamu Semua orang iri kepada kita. Setiap hari kamu berada disampingku, aku merasa tidak ada lagi yang kubutuhkan di dunia ini.

Lima tahun kita menjalaninya, aku ingat sekali sewaktu kamu memintaku untuk pergi menjauh, kamu memintaku untuk tidak lagi menghubungimu. Ketika aku bertanya, apa alasanya kamu hanya menjawab tidak tahu, kamu hanya bilang mungkin kita memang tidak berjodoh.

Aku tidak habis pikir, kenapa ini kamu lakukan, kenapa kamu tega?, membuat hubungan kita, aku menjalanainya dengan serius dan perasaan penuh bahagia, seperti mainan saja. Kamu sepertinya tahu kapan harus bermain dan kapan berhenti bermain. Aku tidak bisa berkata-kata hanya tertunduk. Lenyap lah harapanku. Aku seperti sampah yang dicampakan di sembarang tempat. Tanpa tahu harus berbuat apa lagi.

Kita kembali berpisah, katamu ini adalah jalan yang terbaik. Ah...klise kataku dalam hati. Kalau kamu memang tidak suka lagi padaku, muak meliahtku, benci serta bosan sama akau, bilang saja. Tak usah memakai kata-kta klise yang telah dipakai orang-orang sejak ribuan tahun yang lalu. Tak usah memakai alasan yang tidak jelas, tidak usah meminta maafku. Aku sudah tak punya rasa itu lagi, karena aku sanagt mencintaimu, sangat sayang padamu.

Ah...sudahlah..mungkin ini hanya cerita basi, yang harus dilupakan, yang harus ditanggalkan, tidak untuk di kenang, namun hanya untuk pengalaman hidup saja.

Minggu, 15 Juni 2008

Cinta Kata Lain Dari Aku Ingin Tidur Denganmu

Tubuh sepasang mahluk tuhan yang berlainan jenis kelamin saling mengunci dengan posisi terbalik, tubuh si perempuan tak henti-henti menggelinjang, sedang si pria tetap tenang, hanya lidahnya yang bergerak menjilati pangkal selangkangan si perempuan. Sudah lebih dari lima belas menit mereka begitu dalam ruangan yang udaranya disejukan oleh mesin yang katanya mampu membunuh virus serta bakteri yang bertebangan di udara. Televisi 29 inci yang terletak di atas sebuah meja itu menyala tanpa ada yang menonton. Cahaya itu satu-satunya sumber cahaya dalam ruangan tersebut. Itulah ungkapan perasaan senang setelah ngobrol selama kurang dari sejam di sebuah kafe, semuanya tampak akan berakhir disini dan rasanya sepertiga persoalan dunia ini selesai sudah.

29 April 1992, 08.30 malam.

Lampu-lampu yang menyinari kafe itu seperti kunang-kunang yang menari menyambut malam.tidak begitu ramai, dipojok dekat pintu masuk duduk dua orang yang berbicara tentang bagaimana menjatuhkan Soeharto dari kekuasaan, di dekat jendela yang mengarah ke jalan raya sepsang muda-mudi tertawa cekikikan, mearsa geli entah karena apa.

Dua buah meja tampak kosong, pelayannya pun tampak ngobrol dengan santai di balik meja bartender. Ruangan kafe ini tidak begitu besar, namun mampu menghadirkan suasan yang luas, entah karena pilihan cat temboknya yang bewarna putih, dihiasi oleh lukisan serta potret abstrak, atau hanya kesilapan mata, karena memang tidak begitu banyak orang berseliweran. Disinilah banyak kisah menarik hadir untuk diketengahkan.

Duduk di salah satu meja di sudut bagian belakang, mukanya tak kelihatan, hanya leher sampai ke bagian pinggang yang di terpa cahaya. Tangannya memegagang gelas,lalu memutar-mutarnya, aroma kopi yang begitu mengental akan tercium bagi siapa saja yang berdiri dekat sana. Sementara tangan satunya lagi memegang rokok kretek merk terkenal. Dia memakai kemeja kotak-kotak dipadu dengan celana jeans. Kira-kira sudah setengah jam dia disana. Sepertinya dia menunggu seseorang.

Pas hembusan asap rokok hasil hisapan yang ketiga, seorang perempuan berjilbab lebar bewarna ungu muda menhampiri meja itu, dengan mengucapkan salam khas agama islam dia menyapa laki-laki tersebut. “sudah lama menunggu mas?” katanya sambil tersenyum. Maaf saya terlambat, tadi harus ke kampus dulu ambil tugas”, lanjutnya. Laki-laki tersebut hanya menganggukan kepala dan tersenyum agak sedikit masam. “oya mas ada apa? Kok tiba-tiba ngajak ketemuan?”.

“begini rin, aku sudha lama pengen ketemu ama kamu dan mau ngobrolin sesuatu yang agak serius sama kamu, aku ingin menayakan sesuatu, apa kata lain dari cinta menurutmu?”.

Suasana agak hening sebentar....

“kok tiba-tiba menayakan hal itu mas”

“nggak aku cuman pingin dalam sudut pandang mu”

‘hmmmm......cinta menurutku bentuk ungkapan perasaan seeorang terhadap orang lain”

“hanya itu?...”

“ada cinta kepada orang tua, cinta kepada adik, kakak, cinta kepada manusia lainnya....dan menurut agama Islam konsep pacaran juga tidak dikenal, yang ada hanya ‘ta’aruf’ atau proses saling mengnal satu lama lain.....menurut pandanganku sih begitu mas...”

Kembali rokok yang hanya tinggal seujung kuku dia hisap dalam, sebelum dicelupkan ke dalam asbak yang terbaut dari kaca..hembusan asap terakhir menunjukan rasa sedikit kecewa atas jawaban tadi. “ya sudah, kamu habiskan minummu dan langsung pulang ya... sudah malam, aku juga ada janji ketemu sama orang”

“terus kapan kita bisa ketemu lagi mas?”

“ntar aku hubungi kamu lagi...”

Rini pun beranjak pergi setelah ia betulkan jilbabnya yang agak mirik sehingga memperlihatkan auratnya. Sepeninggal Rini, laki-laki tersebut kembali mengambil rokok dan menyalakannya...matanya kembali melirik ke arah jam. Baru jam setengah sepuluh pikirnya. Suasana kafe tersebut tenyata sudah agak berubah, tal ada lagi tertawa cekikikan sepasang remaja tadi, yang ada hanyalah tertawa lepas para pekerja yang ingin menghabiskan malam sabtu ini setelah lima hari kerja penuh berikut lembur serta bonus caci maki bosnya. Wajar kemudian setiap pekerja butuh tertawa lepas, bukan senyuman, cengiran basa-basi menyenagkan orang.

Kafe ini agak berbeda dengan kafe kebanyakan, jikalau kafe lain menghadirkan live musik atau putaran cakram padat pada player-nya, kafe ini malah tidak menghadirkan musik sedikitpun, tak ada alat-musik, tak ada panggung, tak ada apa-apa, tak jauh berbeda dengan warung kopi di pinggir jalan sebenarnya. Namun karena itulah ia menynangi kafe ini, dia bisa menikmati suasana lain. Hanya itu alasan ia sering menunjungi kafe ini.

Kembali terngiang dikepalanya, petemuan tadi siang di rumah Mawar, dirumah yang sederhana itu ia duduk termenug lama sewaktu Mawa tengah menyiapkan secangkir kopi di belakang. Ini merupakan kali ketiga dia menunjungi rumah ini, setelah yang terakhir berakhir dengan kericuhan, waktu itu ia disangka selingkuh dengan Mawar, padahal ia tahu Mawar adalah tipikal istri yang setia, tak akan berani ia menghianati sang suami walaupun ia tidak mencintanya. Ia waktu itu masih yakin Mawar adalh calon istrinya, jodohnya yang diciptakan tuhan dari tulang rusaknya. Mawar adalah segalanya, mungkin sampai sekarang. Tadi siang Mawar kembali menolak cintanya, Mawar menyatakan statusnya sekaang sebagai penghalang perpaduan cinta mereka.

Ketika beranjak dari rumah Mawar, kembali ia berpikir, apa sih hebatnya Mawar?, secara fisik dia anggap biasa saja, payudara tak besar-besar amat, pantat juga demikian, kulit tak begitu terawat. Secara sifat, Mawar juga tak jauh bebeda dengan perempuan lainnya, suka dimanja, suka belanja, suka berpikir aneh-aneh, seperti seorang sutradara yang mempunyai skenario dikepalanya, dan menuntut setiap peran harus dimainkan secara maksimal kalau tidak siap-siap ditendang.

Aku mungkin penasaran saja, hati ini mungkin penasaran saja untuk mengetahui bagaimana kalau aku memang pacaran sama Mawar, bagiamana rasanya, enakkah?, bahagiakah?, senangkah?. Aku juga penasaran bagaimana rasanya menggandeng Mawar ke setiap sudut kota, bagaimana rasanya memamerkannya ke seluruh penghuni kota, serta bagaimana asanya menyentuh bibi tipisnya dengan bibirku. Mungkin cuman itu alasan aku tetap memujanya.

Gemincing pintu kafe membuyarkan pikirannya, sekilas ia melihat seorang perempuan muda masuk dan kemudian menghampiri mejanya, memakai baju kaus bergambar abstrak khas distro, becelanakan jins model pinsil, sepatu kets, tas selempang yang senada dengan kausnya, tak lupa sederetan gelang melingkar di lengan kirinya. Tanpa basa-basi perempuan yang kalau dihitung-hintung berusia belum genap duapuluh tahun itu mengambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya, baru setelah hisapan ketiga dia memulai pembicaraan.

“gimana brur...dah lama..?, sori gue agak telat..biasa nongkong dulu tadi di tempat temen...”

“hmmm.. aku juga baru nyampe...baru habis dua batang rokok...dah lama juga ya kita tidak ketemu...?. apa kesibukanmu sekarang?

“Yup..begitulah...aku masih coba melatih tehnik gitar...tapi tampaknya tidak begitu menunjukan peningkatan, gue masih lemah di arpegio dan, pinch harmonic. Baru dua bulan ini gue menguasai tehnik tipping dan legato”.

“Pacarmu gimana? Lanjutku

“ ah sudahlah...dia makin nggak asik...masak dia nuntut gue ngasih tau ada dimana, sama siap, pulanhg jam brapa dan seabrek tuntutan lainnya, yang gue anggap terlalu kekanak-kanakan”

“btw ada apa kok tiba-tiba ngajak ketemuan..gue mo pulang nih..”

“Kok buru-buru amat sih...santai aja disini dulu..kita ngobrol...”

“bukan begitu... dah seminggu blom pulang kerumah...lo nggak takut nanti di laporin ke polisi ama babe gue dengan tuduhan melrikan anak dibawa umur, pencabulan serta perkosaan...?’

“hahahhahhhahha”

“jangan ketawa, serius nih..cepetan ngomong...”

“oke...oke...gini poy...kamu tahu kan kerjaanku...tiba-tiba otakku ini berontak pengin tahu apa arti kata cinta”

“hahaha dasar laki-laki.....aneh....gue pikir ada berita penting apa sehingga kita harus ketemu....kok nggak lewat telepon aja sih...kalo cuman nanya itu..sekarang teknologi dah canggih, mamfaatkan dong..”

“justru itu...secanggih apapun teknologi..dia tak bisa menggantikan mood of communication, kita nggak bakalan tahu ekspresi lawan bicara, kita tak tahu gestur tubuh lawan bicara, kita juga nggak tahu mimik wajah lawan bicara, dan akhinya kita bisa menyalahkan arti dari poin pembicaraan, so..., bertemu dengan betatap muka adalah soal penting dalam hubungan antar manusia..”

“oke...lo jangan mulai ceramah deh...untuk jawab pertanyaan lo tadi gue coba jawab......hmmmm....cinta tidak ada...cinta itu hanyalah omong kosong ratapan anak manusia, cinta adalah milik orang-orang yang mempunyai jiwa yang labil, yang butuh pegangan, cinta tak lain dari pembicaraan bodoh sambil membayangkan masa depan, hanya seorang pemimpi yang tetap membicaakan cinta, dan yang terakhir cinta hanyalah kata lain untuk mengatakan aku ingin tidur denganmu”

Lagi-lagi kehinengan menyelinap di tengah pembicaraan.

“kok diam? Bagaimana menurutmu? Lanjut popoy.

“nggak aku bepikir...”

“bepikir apa”

“berpikir...jangan-jangan saat ini aku mencintaimu...”