Ketika SMP kita berangkat sekolah bersama-sama, setiap pagi aku menunggumu di gang kecil depan rumahku. Kita selalu bergandeng tangan, baik hujan maupun panas kita berangkat dan pulang bersam-sama sampai akhirnya ketika beranjak SMU. Kau tidak mau lagi bergandeng tangan. Hal ini kau lakukakan setelah para pemuda di lingkunganmu menertawakanmu, kau malu, paras putih wajahmu yang tirus merona kemerahan seperti ada tomat matang disana. Namun kita tetap berangkat bersama-sama dan begitu juga pulangnya. Kau yang menginginkan demikian, kau merasa aman katamu dari gangguan para pelajar dari SMU lainnya.
Aku sih senang-senang aja, aku yang berparas tak lebih bagus dari kebanyakan para siswa, kulitku yang agak gelap ditengah-tengah paradigma kulit putih yang keren. Aku bangga jalan setiap pagi bersamamu, kapan pun kau mau aku selalu siap menemanimu, kemana aja, bahkan ke lengan para malaikat penjemput nyawa sekalipun.
Aku sedih sekali sewaktu jarak memisahkan kita, kau pindah pas sewaktu kita naik kelas tiga, “ayahku dipindahkan jo....karena dugaan korupsi” katamu dengan lembut menjelang perpisahan kita. “aku sedih jo....aku sebenarnya belum siap untuk meninggalkan kota ini bersama kenangannnya, aku ingin hidup di kota ini...tenang, damai dan aku punya banyak teman di sini...kau tahu kan aku agak susah bergaul dengan lingkungan baru..” lanjutmu. Aku tak tahu harus mengeluarkan kata-kata apa. semoga dengan diam ini sudah cukup membuktikan kesedihanku atas kepergianmu. Ah..sudalah..lagian aku tak mempunyai hak apa-apa untuk menahanmu. Aku juga tidak mempunyai alasan apapun untuk menghambat kepergianmu.
Seminggu sebelum kau pergi aku sempat memikirkan satu jalan untuk membuat kamu tetap berada dikota ini. Disampingku. Jalan ini agak ekstrim memang, namun setelah memutar-mutar pikiran di otak ini hanya ini kiranya merupakan jalan satu-satunya. Kita harus melakukannya. Ya...aku sudah bertekad. Ini mesti dilakukan. Tak ada jalan lain. Besoknya seteah puang sekaah aku menunggumu di sudut gerbang sekoah. Tak ama berseang kamu datang bersama temanmu. “kita jalan dulu...sebelum pulang ke rumah” kataku. Kau diam hanya tersenyum kecil. Aku mengajak kamu ke tempat rahasia kita. Tempat yang tidak seorang pun tahu.
Disana aku memasukimu, aku melepaskan semua dahaga yang telah menyerangku semenjak kau akhil baik. Aku melepasakan semua beban yang ada. Aku memberimu sesuatu yang tak akan pernah kau lupakan. Jadi kau tenang saja. Ini memang sakit awalnya, tapi setelah itu kau akan menikmatinya. Hanya ini jalan untuk membuat kau selalu disampingku. Ini kulakukan agar membuat diriku dianggap sama kedua orang tuamu. Supaya kedua orang tuamu tahu bahwa diri ini tidak bisa dipasahkan dari dirimu. Agar kau tahu aku tidak main-main.
Kau tersenyum, tak ada tetesan air mata, taka ringis kesakitan, kau begitu tenang menerima semua ini. Hanya lenguhan kecil yang keuar dari bibir tipismu. Selebihnya tenang. Nafasku memburu yang menerpa wajahmu, kau tenang saja, hentakan demi hentakan tak membuat dirimu mengeluh. Kau hanya tersenyum kecil tanpa aku tahu artinya, pas sesaat setelah aku kecangkan ikat pinggangku.
Dua hari menjelang kau pergi, aku berpikir, kok tidak terjadi apa-apa, kenapa bapakmu tidak datang ke rumahku sambil marah-marah, kenapa tidak ada isak tangis ibumu di sudut kamar tidurnya. Apa yang sebenarnya terjadi?. Apa kau tidak bercerita tentang apa yang kita lakukan?. Atau ini memang aku simpan sebagai pembunuh sepi di kamarmu?. Aku semakin tidak mengerti tentang dirimu.
Tiga tahun setelah itu kita bertemu lagi di kota Y, kau yang menyapa aku duluan, aku kaget, bagaimana tidak, kau tiba-tiba hadir di depan mataku, tepat di ujung hidungku, setelah sekian tahun aku hanya bisa bermimpi untuk bertemu. Hari ini hari yang menyedihkan sekaligus membahagiakan, setelah seharian letih akibat berdemontrasi menolak hutang baru untuk Indonesia melalui forum CGI, adu jotos dengan aparat, tapi aku bahagia, karena setelah perjuangan yang berdarah-darah itu aku bertemu kamu. Sewaktu kau tersenyum, nyeri akibat pukulan pentungan aparat tadi hilang, penat di badanku lenyapenatah kemana. Terima kasih tuhan..........Semenjak itu tidak ada lagi hari-hari yang muram, suram, semua har terasa cerah, hujan badai pun tak akan mampu singgah barang semenit. Dirimu yang membuat hal itu terjadi.
Tak lama kemudia, kita mengingkat janji dalam sebuah hubungan yang dikenal sebagai pacaran, kalau dalam agamamu namanya ta’aruf. Kita menjalaninya dnegan bahagia, tidak ada pertengkaran, tidak ada cekcok, tidak ada krikil yang menghambat perjalanan kita. Dimana ada aku pasti ada kamu, dimana ada kamu pasti ada aku. Bosan?. Itu hanya sugesti saja katamu Semua orang iri kepada kita. Setiap hari kamu berada disampingku, aku merasa tidak ada lagi yang kubutuhkan di dunia ini.
Lima tahun kita menjalaninya, aku ingat sekali sewaktu kamu memintaku untuk pergi menjauh, kamu memintaku untuk tidak lagi menghubungimu. Ketika aku bertanya, apa alasanya kamu hanya menjawab tidak tahu, kamu hanya bilang mungkin kita memang tidak berjodoh.
Aku tidak habis pikir, kenapa ini kamu lakukan, kenapa kamu tega?, membuat hubungan kita, aku menjalanainya dengan serius dan perasaan penuh bahagia, seperti mainan saja. Kamu sepertinya tahu kapan harus bermain dan kapan berhenti bermain. Aku tidak bisa berkata-kata hanya tertunduk. Lenyap lah harapanku. Aku seperti sampah yang dicampakan di sembarang tempat. Tanpa tahu harus berbuat apa lagi.
Kita kembali berpisah, katamu ini adalah jalan yang terbaik. Ah...klise kataku dalam hati. Kalau kamu memang tidak suka lagi padaku, muak meliahtku, benci serta bosan sama akau, bilang saja. Tak usah memakai kata-kta klise yang telah dipakai orang-orang sejak ribuan tahun yang lalu. Tak usah memakai alasan yang tidak jelas, tidak usah meminta maafku. Aku sudah tak punya rasa itu lagi, karena aku sanagt mencintaimu, sangat sayang padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar